7 PONDASI UNTUK MEMBANGUN KELUARGA SAMARA

Bila setiap Muslim atau Muslimah –bahkan kepada setiap orang– ditanya, “Apakah Anda ingin hidup bahagia?”, sudah pasti semuanya akan menjawab, “Pasti, saya ingin sekali hidup bahagia!”. Memang demikianlah realitas kenyataannya. Setiap hari, semua orang berpacu, berpeluh dan berlomba untuk menggapai kebahagiaan. Namun sayangnya, tidak semua orang memahami rahasia bahagia tersebut atau tidak mengetahui kebahagiaan hakiki apa yang harus diraihnya!

Kebahagiaan hidup sesungguhnya ada dalam setiap aspek kehidupan. Tetapi secara otomatis dan spontan, sebagian orang mengklaim bahwa kebahagiaan ada dalam kehidupan keluarga, dengan menjadi pasangan suami istri (pasutri). Akhir-akhir ini, term atau istilah keluarga bahagia sendiri dalam kajian Islam seringkali diungkapkan dengan keluarga SAMARA (sakīnah, mawaddah wa rohmah), yaitu bertolak dari firman Alloh  berfirman:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram (sakīnah) kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rohmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rūm [31]: 21)

Lantas, bagaimanakah langkah awal dan titik tolak utama untuk dapat mewujudkan dan membangun keluarga SAMARA tersebut sesuai dengan tuntunan Islam? Berikut tips singkatnya:

1. Berlandaskan Islam.

Maksudnya, dengan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup tiap pasutri, karena Alloh  memang telah menjanjikan kebahagiaan hakiki dalam syariatnya. Karenanya, tidak mungkin ada kehidupan atau tergapainya kebahagiaan hakiki, kecuali dengan mengikuti ajaran Islam yang telah digariskan Alloh  dan diajarkan Rosul-Nya  serta diserukan kepada seluruh umat manusia untuk menitinya.

2. Membiasakan diri atau hidup dalam religiusitas Islam.

Artinya, seorang lelaki atau calon suami idealnya adalah orang yang sholeh, dan seorang wanita atau calon istri seharusnya menjadi seorang yang sholehah, sebelum mereka memantapkan langkah untuk mengikat pernikahan. Yaitu lelaki dan wanita yang dengan tulus ikhlash merealisasikan dan mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan kesehariannya. Lebih baik lagi, bila jauh-jauh hari mereka berdua memang telah menjadi orang yang sholeh dan sholehah, bukan hasil instant karena hendak menikah!

Alloh  berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl [16]: 97)

3. Berdoa kepada Alloh .

Yaitu berdoa kepada Alloh  dengan memohon kepada-Nya agar keluarganya dibentuk menjadi keluarga SAMARA, diberikan istri yang sholehah dan suami yang sholeh, serta dianugerahkan anak-keturunan yang sholeh dan sholehah pula.

Di antara doanya adalah:

“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Robb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqōn [25]: 74)

“Wahai Robbku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (QS. Āli ‘Imrōn [3]: 38)

4. Mengetahui dan mengkaji karakter utama keluarga SAMARA.

Secara umum adalah dengan mempelajari “Fiqih Rumah Tangga” dalam Islam yang telah banyak dikupas oleh para ulama. Dan spesifiknya adalah dengan mengetahui interpretasi atau penafsiran dari QS. ar-Rūm [31]: 21. Dalam hal ini, Ibnu Katsir  berkata:

“Sakīnah terealisasi karena adanya keharmonisan di antara dua insan berlawanan jenis kelamin dari sesama manusia. Sedangkan mawaddah berarti kecintaan yang tulus (mahabbah), dan rohmah adalah kelemah-lembutan (ro’fah).”

5. Berbekal dengan ilmu.
Selain ilmu tentang kehidupan berumah tangga dan hal-hal yang terkait dengannya –termasuk tentang keluarga SAMARA–, namun yang lebih penting lagi adalah ilmu tentang trilogi ilmu (ushūl tsalātsah) dalam Islam, yaitu mengenal (ma’rifah) Alloh , Rosul-Nya  dan ma’rifah Islam sebagai agamanya. Ilmu tersebut tiada lain adalah ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah Rosululloh  dan dari konsensus (ijma’) para Sahabat.

Berbekal ilmu juga berarti mengikis kebodohan, salah satunya adalah dengan bertanya atau berkonsultasi.

Alloh  berfirman:

“…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl [16]: 43)

Rosululloh  bersabda:

(( أَلاَ سَأَلُوْا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوْا، فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعَيِّ السُّؤَالُ ))

“Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya!” (HR. Abū Dāwud dan Ibnu Mājah; dihasankan al-Albānī)

6. Berhias dengan akhlak mulia.

Akhlak mulia harus menjadi landasan utama dalam menjalin interaksi antara pasutri dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan menyelami biduk kehidupannya.

Alloh  berfirman:

“…Dan bergaullah dengan mereka secara patut….” (QS. an-Nisa’ [4]: 19)

Tentang penafsiran ayat ini, Ibnu Katsir  berkata:

“Maksudnya, santunkanlah ucapan kalian (suami) kepada mereka (istri) serta baguskanlah perbuatan dan tingkah laku kalian sesuai dengan kesanggupan kalian. Sebagaimana kalian pun menyukai bila mendapatkan (perlakuan baik) itu dari mereka, maka berlakulah kalian terhadap mereka dengan (perlakuan baik) pula, sebagaimana Alloh  berfirman:

“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….” (QS. al-Baqoroh [2]: 228)

Dan sebagaimana sabda Rosululloh :

(( خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ ))

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dalam bersikap terhadap keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku.” (HR. at-Tirmidzī, Ibnu Mājah dan Ibnu Hibbān; dishohihkan al-Albānī).”

7. Memilih pasangan yang tepat.


Dalam hal ini, standar wajib yang harus dipenuhi adalah berdasarkan kebaikan agama dan kemuliaan akhlak. Sedangkan nilai lebih atau plusnya yang dihukumi tidak wajib, hanya boleh saja, adalah berasal dari keturunan baik-baik, keluarga yang subur dan banyak anak, memiliki paras (rupa wajah) yang cukup menarik dan cocok di hati, tidak mesti harus jelita, rupawan, cantik, tampan dan nilai plus lainnya. Ingat, yang paling penting adalah agama dan akhlaknya baik!

Dalam hal ini, Rosululloh  bersabda:

(( تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ))

“Wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena kekayaan, keturunan, kecantikan dan karena agamanya. Maka beruntunglah seorang lelaki yang menikahi wanita karena agamanya.” (HR. al-Bukhōrī dan Muslim)

Dalam hadits tersebut di atas, Rosululloh  tidak pernah menolak sama sekali satu kriteria pilihan dari tiga hal yang pertama. Karena masing-masingnya memang memiliki peran dan mampu memberikan kepuasan tersendiri bagi tiap pasangan pasutri, sesuai dengan kecenderungannya.

Ketika Rosululloh  ditanya tentang “Siapakah wanita terbaik (yang layak dinikahi) itu?”, maka beliau menjawab:

(( الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ ))

“Yaitu wanita yang menyenangkan suami ketika memandangnya, menaatinya ketika diperintah dan tidak menyelisihinya terhadap hal yang tidak disukainya, baik pada dirinya maupun harta bendanya.” (HR. Ahmad, an-Nasā’ī dan al-Hākim)

Demikianlah artiket tentang " 7 pondasi untuk membangun keluarga samara, mudah-mudahan dapat membantu dalam mewujudkan kehadiran keluarga SAMARA serta mampu membangunkan kuantitas dan kualitasnya sekaligus. Amin.
Back To Top